BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sepeninggalan nabi Muhammad SAW
membawa pengaruh dalam kehidupan yang disusul dengan masa Khulafaur Rasyidin.
Setelah itu munculnya dinasti-dinasti yang membawa pengaruh besar dalam dunia
Islam, salah-satunya adalah yang dikenal
dengan nama Dinasti Mamluk. Kepentingan
pembahasan mengenai abad pertengahan ini (abad ke 7 hingga ke 11H / abad ke 13
hingga ke 17 M ) adalah karena era ini merupakan masa pembentukan salah satu
sistem politik dalam Islam. Kemunculan dan kebangkitan Dinasti Mamalik
merupakan satu fenomena yang sangat sulit dipahami sebagaimana ditunjukkan oleh
namanya, merupakan dinasti para budak.
Dinasti
Mamluk Mesir memberikan sumbangan besar bagi peradaban Islam setelah
mengalahkan kelompok Nasrani Eropa yang menyerang Syam (Suriah). Selain itu,
Dinasti Mamluk Mesir berhasil mengalahkan bangsa Mongol, merebut dan
mengislamkan kerjaan Nubia (Ethiopia), serta menguasai pula Cyprus dan Rhodos.
Dinasti Mamluk Mesir berakhir setelah Al-Asyras Tuman Bai, sultan terakhir,
dihukum gantung oleh pasukan Ustmani Turki[1]
B.
Pokok Masalah
1.
Bagaimana sejarah lahirnya kekuasaan Dinasti
Mamalik ?
2.
Bagaimana penerapan siyasah pada masa Dinasti
Mamalik ?
3.
Bagaimana kemunduran dan runtuhnya Dinasti
Mamalik ?
BAB II
A.
Sejarah Lahirnya Kekuasaan Dinasti Mamalik
Kaum
Mamluk adalah para imigran Mesir yang pada awalnya merupakan budak-budak yang
datang dan daerah pegunungan Kaukasus dan laut Kaspia. Mereka ditempatkan di
barak-barak militer pulau Raudoh di sungai Nil untuk dilatih dan dididik secara
baik. Ditempat inilah mereka diajari membaca, menulis dan pengetahuan
kemiliteran, bahkan diberi pendidikan agama.[2]
Philip.
K. Hitti menyebutkan bahwa Dinasti Mamluk adalah dinasti yang luar biasa karena
dinasti yang dihimpun dari budak-budak yang berasal dari berbagai ras yang
dapat membentuk suatu pemerintahan oligarki di suatu Negara yang bukan tumpah
darah mereka.[3] Sedang kata mamluk, bila
digabungkan dengan kata dinasti (dinasti mamluk) berarti pemerintahan para
budak yang memerintah Mesir dan Syiriah selama 267 tahun, mulai 1250-1517 M.[4]
Pondasi
kekuasaan Mamluk di letakkan oleh Syajar al-Durr, janda Al-Malik Al-Shaleh dari Dinasti Ayubiyah yang tadinya merupakan
seorang budak dari Turki dan Armenia. Pada awalnya, dia adalah seorang pengurus
rumah tangga, dan salah satu harem Al-Mu’tashim. Kemudian ia mengabdi kepada
al-Shaleh, khalifah yang membebaskannya setelah ia melahirkan anak laki-laki.
Ketika
Al-Malik Al-Shaleh meninggal, anaknya Turansyah naik tahta sebagai Sultan. Golongan
mamalik merasa terancam karena turansyah lebih dekat dengan tentara kurdi dari
pada mereka. Pada tahun 1250 M, Mamalik dibawah pimpinan Aybak dan Baybars
berhasil membunuh Turansyah. Istri Malik Al-Shaleh, Syajar Al-Durr, seorang
yang juga berasal dari kalangan mamalik berusaha mengambil kendali
pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan mamalik. Kepemimpinan Syajar
Al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh
mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil
berharap dapat berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak
membunuh Syajar Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada
mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayubi’yah bernama Musa
sebagai Sultan “Syar’I” (formal) di samping dirinya bertindak sebagai penguasa
yang sebenarnya. Namun, akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari
dinasti Ayubi’yah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.[5]
Dinasti
mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama
di sebut dengan Mamluk Bahri, golongan pertama ini berasal dari kawasan Kipchak
(Rusia Selatan), Mongol dan Kurdi, tetapi kebanyakan dari budak/budak ini
berasal dari Mongol dan turki. Mereka di tempatkan dipulau Raudhoh di pinggiran
sungai Nil. Disinilah mereka menjalani pelatihan militer dan pelajaran
keagamaan. Karena penempatan inilah mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri
(budak laut/air).
Sementara
itu, golongan yang kedua dinamakan Mamluk Burji. Para budak ini berasal dari
etnik Syracuse di wilayah Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil
bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.[6]
Kelompok ini dibentuk oleh Qallawun, raja mamluk bahri (1279-1290).
B.
Penerapan Siyasah pada Masa Dinasti Mamalik
1.
Siyasah Dusturiyah
Dinasti Mamalik membawa warna baru
dalam sejarah peradaban dan politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat
oligarki militer, suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan
kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling kuat dan
berpengaruh, bukan melalui garis keturunan.
Bai’at adalah sumpah setia yang mempertalikan
pemimpin dengan masyarakatnya. Bai’at identic dengan sebuah “perjanjian”, dan sebagaimana layaknya
semua ragam perjanjian. Bai’at
melibatkan dua kelompok; disatu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; di sisi
lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum
bai’ah terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh
dan mempunyai kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu. Model suksesi
seperti ini telah dipraktekkan oleh keempat khalifah, meskipun memperlihatkan
variasi yang berbeda-beda.[7]
Namun hal tersebut berubah sejak pemerintahan Qalawun (1280-1290 M). Ia merubah
sistem pemerintahan atau cara pemilihan kepemimpinan dari oligarki militer
menjadi sistem kerajaan atau turun-temurun.
2.
Siyasah Dauliyah
Hubungan internasional pada masa
dinasti ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti.
a.
Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang Perancis
dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti
Fathimiyah di Mesir sebelumnya.
b.
Menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan
antara Asia dan Eropa, Kairo menjadi kota yang penting dan strategis karena
jalur perdagangan dan Asia Tengali dan Teluk Persia hampir dipastikan me1ui
Bagdad.[8]
3.
Siyasah Maliyah
Pendapatan Negara Dinasti Mamalik.
a.
Pertanian, Dinasti Mamalik membangun sarana
irigasi yang bagus sehingga hasil pertanian sangat bagus.
b.
Perdagangan, Dinasti Mamalik membuka hubungan
dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang
sudah dirintis oleh Dinasti Fatimiyyah di Mesir sebelumnya.
c.
Ghanimah, segala sesuatu yang dikuasai kaum
Muslimin dari harta orang kafir dengan mlalui peperangan. Hal ini diperoleh
setelah pasukan mamluk berhasil mengalahkan pasukan kafir dalam berbagai
peperanga, seperti kemenangan melawan tentara Mongol di Ayn Jalut.
d.
Fa’i, segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin
dari harta orang kafir dengan tanpa peperangan. Hal ini diperoleh Dinasti
Mamalik setelah beberapa wilayah kekuasaan tentara non muslim meninggalkan
daerahnya tanpa peperangan. Dalam sejarah, setelah pasukan Mamalik berhasil
mengalahkan pasukan Mongol di Ayn Jalut, tentara Mongol yang berada di daerah
Syria meninggalkan wilayah itu untuk menghindari tentara Mamluk. Tentu betbagai
harta yang ditinggal menjadi milik kaum Muslimin.
e.
Jizyah, hak yang diberikan kaum Muslimin dari
orang-orang non muslim sebagai tanda kedudukan mereka kepada Islam yang diambil
dari mereka sebesar 1 dinar pertahun.
f.
Usyur, hak kaum muslimin yang di ambil dari harta perdagangan pedagang eropa
yang melewati perbatasan negara.
C.
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Mamalik
Kemunduran
dinasti ini secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu, faktor
internal, dan faktor eksternal.
1.
Faktor Internal
Maraknya praktik korupsi. Korupsi
dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan yang mengelola pembangunan.
Misalnya, yang dilakukan oleh sultan Barsibai, sebelum harga naik, ia
memonopoli persedian rempah yang ada, kemudian menjualnya dengan harga yang
sangat tinggi. Ia juga memonopoli produksi gula, dan melangkah lebih jauh
dengan melarang tanaman tebu selama satu periode dengan tujuan mendapatkan keuntungan
yang sangat besar.
Sebagaimana temuan Ibn-Al-Taghri
Birdi yang dikutip Philip K Hitty, menjelaskan bahwa: “faktor kehancuran Mamluk
Burji tampak terlihat dari para sultan dan pegawainya yang berperilaku buruk,
seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan
tindakan kejam, curang, dan sebagian lain tidak efisien atau bahkan bermoral
bejat dan kebanyakan dari mereka tidak beradab.”
2.
Faktor Eksternal
Para penguasa Mamluk Burji sangat
tidak peduli dengan urusan luar negerinya, mereka lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk mengurusi persoalan domistik. Akibatnya, mereka tidak mampu
menghadapi tekanan dan serangan dari musuh-musuh lama mereka, seperti tentara
Mongol yang berkeinginan merebut kembali kekuasaan Dinasti Mamluk.[9]
Dalam tulisan Ahmad Al-Usairy
dipaparkan detik-detik berakhirnya Mamluk Burji sebagai berikut :
“Pasukan Ustmani di bawah pimpinan Sultan Salim, mengalahkan pemerintahan Al-Saffariah pada perang Jaladiran yang sangat terkenal pada tahun 920 H/1514 M. mereka berhasil memasuki ibu kotanya Tibriz. Dengan demikian, Irak kini berhasil masuk dibawah kekuasaan Ustmani. Setelah itu, mereka berhasil pula mengalahkan pemerintahan Mamluk di negeri Syam pada perang Marj Dabiq di Halb. Sultan Qanshuh Al-Ghawri dibunuh dalam perang ini pada tahun 922 H, kemudian Sultan Salim melanjutkan serangannya ke Mesir dan berhasil menang atas orang-orang Mamluk pada perang Raydaniyah di Kairo. Pada perang ini, Sultan Thumanbai terbunuh, dengan terbunuhnya sultan terakhir Burji, maka berakhir pulalah pemerintahan Mamluk. Khalifah Abbasiyah terakhir, Al-Mutawakkil ‘Ala Allah, turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada sultan Salim, terjadi pada tahun 923 H/1517 M.Kairo yang sebelumnya menjadi ibu kota kerajaan, kemudian menjadi kota provinsi dari kesultanan Turki Ustmani.”[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Latar belakang Dinasti Mamalik adalah berasal
dari para budak yang ditawan oleh penguasa Ayyubiyah yang dipimpin oleh
Al-Malik Al-Salih, kemudian mereka dididik dan dilatih menjadi pasukan meliter
yang tangguh oleh Al-Malik Al-Salih serta dijadikan pengawal untuk kelangsungan
kekuasaannya.
2.
Siyasah Dusturiyah pada masa Dinasti Mamalik
bersifat oligarki militer, suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan
kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling kuat dan
berpengaruh, bukan melalui garis keturunan. Karena itu, sistem ini lebih
mementingkan kecakapan, kecerdasan, dan keahlian dalam peperangan.
Siyasah Dauliyah pada masa Dinasti
Mamalik antara lain membuka hubungan dagang Perancis dan Italia dan menjadikan
kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa
Pendapatan pada masa Dinasti Mamalik
ini berasal dari pertanian, perdagangan, ghanimah, fa’i, jizyah, dan usyur.
Pengeluaran Dinasti Mamalik antara lain untuk pembangunan infratruktur,
penggajian pejabat negara, pertahanan negara, dan pelayanan masyarakat.
3.
Kemunduran dan runtuhnya dinasti Mamluk utamanya
disebakan ketika sultan Mamluk Burjiy berkuasa yang ditandai dengan adanya
kegoncangan dalam maupun luar negeri.
B.
Saran
Adapun
saran kami dengan pembuatan makalah ini yaitu agar orang yang membacanya dapat
mengerti dengan materi yang ada tentang Al-Siyasah Syariyyah Pada Masa Dinasti Mamalik, sehingga dapat memberikan manfaat bagi yang
membacanya.
Daftar Pustaka
Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam, (Jakarta: Saufa, 2014)
Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Graha Gratindo Persada, 2004)
Philip Khuri Hitti, History
of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Serambi, 2005)
Ahmad Shalabi, Mauwsu’ah
al-Tārīkh al-Islam wa al-Haḏārah
al-Islāmiyah, Vol. 5, (Kairo: Maktabah al-Nadah
al-Misriyyah, 1978)
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2014)
Rahim Yunus dan Abu Haif, Sejarah Islam Pertengahan, (Yogyakarta: Ombak, 2013)
Philip K. Hitti, The
Arab Short a History. Diterjemahkan
oleh Ushuluddin Kutagalung dan O.D.P. Sihombing dengan judul “Dunia Arab Sejarah Singkat”, (Bandung:
Surnut, 1970)
Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
[1]
Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam,
(Jakarta: Saufa, 2014), h. 277.
[2]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Graha Gratindo Persada, 2004), h. 124.
[3] Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: Penerbit Serambi, 2005), h. 671.
[4]
Ahmad Shalabi, Mauwsu’ah al-Tārīkh
al-Islam wa al-Haḏārah al-Islāmiyah,
Vol. 5, (Kairo: Maktabah al-Nadah al-Misriyyah, 1978), h.197.
[5]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2014), h. 124.
[6]
Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam,
(Jakarta: Saufa, 2014), h. 278.
[7]
Rahim Yunus dan Abu Haif, Sejarah Islam
Pertengahan, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 20.
[8]
Philip K. Hitti, The Arab Short a History.
Diterjemahkan oleh Ushuluddin
Kutagalung dan O.D.P. Sihombing dengan judul “Dunia Arab Sejarah Singkat”, (Bandung: Surnut, 1970), h. 679.
[10]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 247.
sangat lengkap kak thanks
BalasHapusgambar escavator