KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“PERIODE KLASIK : FASE DISENTIGRASI (1000-1250 M)”.
Dengan
adanya makalah ini, mudah-mudahan dapat mengembangkan wawasan sejarah keislaman
kita khususnya mengenai Periode Klasik : Fase Disentigrasi para kaum pelajar
untuk lebih maju dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika
terdapat kekurangan dalam makalah ini, kami meminta maaf. Oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Samata,
26 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...……………………………………………………………………… 1
DAFTAR
ISI.......……………………………………………………………………........….. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………...................………
3
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………......................
4
C. Tujuan………………....................……………………………………………………………
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Dinasti-dinasti yang Memerdekakan
Diri dari Baghdad…….....................………………….. 5
B. Perebutan Kekuasaan di Pusat
Pemerintahan…....................………………………………… 7
C. Perang Salib……………………………………..................………………………………...
19
D. Sebab-sebab Kemunduran Pemerintahan
Bani Abbas….....................……………………… 22
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………......................………………………………………………………
29
B. Kritik dan
Saran……….......................……………………………………………………… 29
DAFTAR PUSTAKA……………….............…………………………………………………….....
30
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan
dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang
merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul di mana-mana, baik
gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun,
semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi
gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai
pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada di tangan khalifah. Keadaan
ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu
para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang
lain.
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah
pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah
khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat.
Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya
menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini
memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat
oleh khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka
berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan
Bani Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini
merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
bisa bertahan lebih dari empat ratus tahun.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Dinasti-dinasti
apa saja yang memerdekakan diri dari Baghdad?
2.
Bagaimana
peristiwa perebutan Kekuasaan di pusat pemerintahan?
3.
Bagaimana
peristiwa terjadinya Perang salib?
4.
Apa
sebab-sebab kemunduran pemerintahan Bani abbas?
C. TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui dinasti-dinasti apa saja yang memerdekakan diri dari Baghdad.
2.
Untuk
mengetahui peristiwa perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
3.
Untuk
mengetahui peristiwa Perang Salib.
4.
Untuk
mengetahui sebab-sebab kemunduran pemerintahan Bani Abbas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DINASTI-DINASTI YANG MEMERDEKAKAN
DIRI DARI BAGHDAD
Disintegrasi
dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah,
akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan
Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai
masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam, hal ini
tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan
dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali
Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan,
dalam kenyataanya, banyak daerah yang tidak dikuasai khalifah. Sebenarnya,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi
bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada
kemungkinan bahwa para khalifah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari
provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertama,
mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan
kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat
dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam dari persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai
lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Provinsi-provinsi itu pada mulanya
tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan
khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun, pada saat
wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad.
Mereka bukan saja menggerogoti sang
khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai
khalifah itu sendiri. Selain itu, datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki
kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen.
Kekuatan
militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para
penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang
kemiliteran, khusunya tentara Turki dengan. Pengangkatan anggota militer Turki
ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah. Apalagi, pada periode pertama pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah
(kebangsaan/anti Arab). Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya
politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun
dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan
karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme
tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik
kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti
yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah
Abbasiyah, di antaranya:
1.
Yang
berbangsa Persia:
a.
Thahiriyyah
di Khurasan, (205-259 H/820-872 M),
b.
Shafariyah
di Fars, (254-290 H/868-901 M),
c.
Samaniyah
di Transoxania, (261-318 H/873-998 M),
d.
Sajiyyah
di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M),
e.
Buwaihiyyah,
(320-447 H/932-1055 M).
2.
Yang
berbangsa Turki:
a.
Thuluniyah
di Mesir, (254-292 H/837-903 M),
b.
Ikhsyidiyah
di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M),
c.
Ghaznawiyah
di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M),
d.
Dinasti
Seljuk dan cabang-cabangnya:
1)
Seljuk
besar atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn
Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama
sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M),
2)
Seljuk
Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M),
3)
Seljuk
Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M),
4)
Seljuk
Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M),
5)
Seljuk
Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M)
3.
Yang
berbangsa Kurdi:
a.
Al-Barzuqani,
(348-406 H/959-1015 M),
b.
Abu
Ali, (380-489 H/990-1095 M),
c.
Ayubiyah,
(564-648 H/1167-1250 M).
4.
Yang
berbangsa Arab:
a.
Idrisiyyah
di Marokko, (172-375 H/788-985 M),
b.
Aghlabiyyah
di Tunisia, (184-289 H/800-900 M),
c.
Dulafiyah
di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M),
d.
Alawiyah
di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M),
e.
Hamdaniyah
di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M),
f.
Mazyadiyyah
di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M),
g.
Ukailiyyah
di Maushil, (386-489 H/996-1095 M),
h.
Mirdasiyyah
di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5.
Yang
mengaku dirinya sebagai khilafah:
a.
Umawiyah
di Spanyol,
b.
Fathimiyah
di Mesir.
Dari
latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa,
terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan,
dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar
belakang Syi’ah, ada yang Sunni.
Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga
banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1.
Luasnya
wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2.
Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah terhadap mereka
sangat tinggi.
3.
Keuangan
Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat
besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
B. PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT
PEMERINTAHAN
Faktor
lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Nabi
Muhammad SAW memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pimpinan setelah
ditinggalkannya. Beliau nampaknya, menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin
sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dan
ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi
kepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa
yang lain. Ada yang berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui
konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak
tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum
Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masing
golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada di pihak mereka, atau
setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan
tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik dan semangat musyawarah dan
ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bakar terpilih
menjadi Khalifah.
Pertumpahan
darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman
yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu, menurut Ahmad
Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang
banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi
khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar
memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi
Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah itu pula Muawiyah, gubemur
Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil
mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan
yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi
khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi
pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan
sering terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin
oleh al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas
yang untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan
terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi
nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti
terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya,
tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada
hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap
dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan
kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil
merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak
bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah
sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah
kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode
ketiga (334-447 H/l055 M), daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaih.
Kehadiran
Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang
tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan
kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu
dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan
pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor
Makan ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn
Zayyar al-Dailamy .Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi
gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari
al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali
berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai
pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di
Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan,
dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah
Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan
negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi
ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari
sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat
perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin
militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz.
Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal
Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat
menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah.
Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di
Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan yang memerintah di bagian
utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu,
sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah
tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para
khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan
sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk
daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran
Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih
sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan
tentara dan sebagainya.
Setelah
Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke
Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar
al-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di
Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan
militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri
dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah,
dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Sebagaimana para
khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan
perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar,
di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani,
Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala
al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga
terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit,
dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju
perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Kekuatan
politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga
bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak
mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya,
pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad
al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amIr al-umara.
Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu
faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka.
Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara
golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara
dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala
jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke
permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
Sejalan
dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula
gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya
serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan
dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan
Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan
dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
Jatuhnya
kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam
negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu
dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang
ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapal
Al-Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang
khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong
khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang
berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Seljuk
itu memasuki Baghdad. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang
terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan
bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan
awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa
kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga,
dan keempat Hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan.
Ketika itu mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq.
Karena itu, mereka disebut orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq
mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut
Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk
sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud
menyingkirkan Seljuk.
Namun,
sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap
melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah
land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah
Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Mereka mendiami
daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah tersebut.
Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan
oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil
menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah
Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil
dan kemudian penggantinya Mikail, ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah.
Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk terakhir
ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada
tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah
keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada
tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di
Baghdad. Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki
Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut
daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan,
Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.
Posisi
dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa; paling tidak
kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama
"dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun
ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan
kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang
sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini, kembali
mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan
Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang
dianut mereka.
Sepeninggal
Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh Alp
Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487
H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103
M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Haris
Sanjar(511-522H/1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama
al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Disamping itu, ada
beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan
terdahulu. Pada masa Alp Arselan perluasan daerah yang sudah dimulai oleh
Thugrul Bek dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia
Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa
yang dikenal dengan peristiwa Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil
mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz,
al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya Manzikart tahun
1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan penturkian
(turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman
ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada
tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya
Iconim. Sementara itu putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti
Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.
Pada
masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas, membentang
dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem.
Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian.
1.
Seljuk
Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia
merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan
orang.
2.
Seljuk
Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn
Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
3.
Seljuk
Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk
ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4.
Seljuk
Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn
Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5.
Seljuk
Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah
syekh yang memerintah seluruhnya 17 orang.
Disamping
membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syekh atau
Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang
sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa
departemen. Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang
dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu oleh perdana
menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya
Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di
setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K.
Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan
tinggi di kemudian hari. Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka
adalah al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy
dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid
al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra. Bukan hanya pembangunan
mental spiritual, dalam pembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak
meninggalkan jasa. Malik Syah terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang
terakhir ini. Banyak masjid, jembatan, irigasi dan jalan raya dibangunnya. Setelah
Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai
mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara
anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat.
Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri.
Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat
Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit
kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan
dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199
M.
C. PERANG SALIB
Perang
Salib ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat
Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali
keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang
menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak
berziarah ke sana.
Sebagaimana
telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh
Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp
Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1
mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara
Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat
Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah
dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan
dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan
beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan
itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode:
1.
Periode
Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M;
150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat
menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh
Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18
Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha
(Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai
raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan
kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan
Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu,
tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.),
Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan
kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
2.
Periode
Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan
Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144
M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin
Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan
orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III
menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan
raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah
Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki.
Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri
melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan
perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan
dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang
terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian
kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum
muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana
balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja
Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja
Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan
berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian
dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki
Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara
salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian
ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan
diganggu.
3.
Periode
Ketiga
Tentara Salib pada periode ini
dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir
lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari
orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki
Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia
melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick
menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan
kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut
kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik
al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti
Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang
oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.
Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari
sana.
D. SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN
PEMERINTAHAN BANI ABBAS
Di
samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan Khilafah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu
sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Persaingan
Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh
Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan
dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Khilafah Abbasiyah berdiri,
Dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada
orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang
Arab sendiri terpecah belah dengan adanya nashabiyah(kesukuan). Dengan
demikian, Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang
Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah
yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap
rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu wilayah kekuasaan
Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti MaroKko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka
disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada
kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya,
di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang
melahirkan gerakan syu'ubiyah. Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan
berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan
tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka
dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh
bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka
merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat
berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk
mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga
keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil,
seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuasaan BaniAbbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada
ditangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih,
bangsa Persia pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti
Seljuk pada periode keempat.
2.
Kemerosotan
Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami
kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik.
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya.
Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan
harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj semacam
pajak hasil bumi. Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan
negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya
pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang
buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
3.
Konflik
Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat
dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya
tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran
Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan
gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha
keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus
untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemic tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga
banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran
politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya
sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa.
Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husain di Karbala dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.) kembali memperkenankan orang syi'ah
"menziarahi" makam Husain tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam
Khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah
di Maroko dan Khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang
memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama
tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan
Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung
rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan Ahlus Sunnah.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah
ketujuh dinastiAbbasiyah (813-833 M.) dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai
madzhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861)
aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Ahlus Sunnah
kembali naik daun.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali
pada masa Dinasti Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut aliran
Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilahmulai dilakukan secara sistematis.
Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
4.
Ancaman
dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah
faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dana
dan akhirnya hancur :
Pertama, Perang Salib yang berlangsung
beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Sebagaimana telah disebutkan,
orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus
II(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun,
diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon
yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Kedua, serangan tentara Mongol ke
wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh Perang Salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat
membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Buddha dan Kristen
Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang
anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol,
setelah menghancurleburkan pusat-pusat islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Disintegrasi
merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi
terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa kekhalifahan Islam
di masa lampau yaitu di antaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan
diri dari Baghdad, perebutan kekuasaan
di pusat pemerintahan dan munculnya tiga kerajaan besar Islam.
B. KRITIK DAN SARAN
Jika
terdapat kekurangan dalam makalah ini, kami meminta maaf, maka dari itu kami
harap kritik dan saran dari Bapak/Ibu dosen serta teman-teman untuk lebih
baiknya makalah ini.
Kami
menyarankan kepada kita semua untuk mempelajari dan memahami masa disintegrasi
kekhalifahan Islam agar kita mengetahui dampak dari disintegrasi terhadap
keutuhan dan kesatuan kita sebagai umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://shafiyahbtbakr.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-peradaban-islam-masa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar