Jumat, 28 Desember 2018

MAKALAH FIQH MUAMALAH IJARAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah). Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
            Manusia merupakan makhluk sosial yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
            Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
            Dan di sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi), yaitu Ijarah

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Ijarah?
2.      Apakah dasar hukum dari Ijarah?
3.      Bagaimana syarat-syarat dan rukun Ijarah?
4.      Bagaimana hukum menyewakan barang sewaan?
5.      Bagaimana pembatalan dan berakhirnya Ijarah?
6.      Bagaimana pengembalian barang sewaan?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui arti dari Ijarah..
2.      Untuk mengetahui dasar hukum dari Ijarah.
3.      Untuk mengetahui syarat-syarat dan rukun Ijarah.
4.      Untuk mengetahui hukum menyewakan barang sewaan.
5.      Untuk mengetahui pembatalan dan berakhirnya Ijarah.
6.      Untuk mengetahui pengembalian barang sewaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah
            Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at). Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab ijarah berasal dari kata اجر yang sinonimnya:
1.      اكوىyang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat اجرالشئ (menyewakan sesuatu).
2.      اعطا ه اجرا yang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat اجرفلاناعلى كذا(ia memerikan kepada si fulan upah sekian).
3.      اثابهyang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimatاجرالله عبده(Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).[1]
            Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Ulama Hanafiyah
عَقْدٌ عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asyafi’iyah
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ  بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”[2]
                        Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir, musta’jir, ma’jur dan ajru atau ijarah.ma’jir ialah pemilik benda yang menerima uang (sewa) atas suatu manfaat. Musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau pihak yang menyewa. Ma’jur ialah pekerjaan yang diakadkan manfaatnya. Sedangkan ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan.[3]
                        Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi keperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[4]
B.     Dasar Hukum Ijarah
            Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’
Dasar hukum ijarah dalam alqur’an adalah
                                                فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum ijarah dari al-hadits adalah
                                                            اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
            Landasan Ijma’nya ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.[5]

C.     Syarat-Syarat dan Hukum Ijarah
            Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1.      Dua orang yang berakad
2.      Sighat (ijab dan qabul)
3.      Sewa atau imbalan
4.      Manfaat
            Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1.      Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3.      Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
4.      Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
5.      Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6.      Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7.      Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8.      Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas

D.    Hukum Menyewakan Barang Sewaan
            Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir) dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.[6]


E.     Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
            Menurut al-kasani dalam kitab al-Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad  ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Objek ijarah hilang atau musnah.
2.      Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir.
3.      Wafatnya salah seorang yang berakad.
4.      Apabila ada udzur (halangan) dari salah satu pihak.
            Sementara itu, menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.
2.      Rusaknya barang yang disewakan.
3.      Rusaknya barang yang diupahkan.
4.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5.      Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan ijarah  jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa.

F.      Pengembalian Barang Sewaan
            Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak) seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang yang tidak dapat bergerak) seperti rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula. Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at). Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
2.      Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’.
3.      Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama ijarah ada empat yaitu:
a.     Dua orang yang berakad
b.     Sighat (ijab dan qabul)
c.     Sewa atau imbalan
d.    Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
a.         Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
b.        Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
c.         Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
d.        Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
e.         Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
f.         Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
g.        Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
h.        Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas.
4.      Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
b.      Rusaknya barang yang disewakan
c.       Rusaknya barang yang diupahkan
d.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
            Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa.
5.      Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan.

B.     Saran
            Hendaknya pembaca dapat lebih memahami dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari tentang ijarah.


Daftar Pustaka

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010)
Rachmat Syafei, FIQIH Muamalah, (Bandung: CV PUSTAKA SETI, 2001)
Qomarul Huda, Fiqh muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011)
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Abdul Rahman Ghazaly, dkk.,  FIQH MUAMALAT,  (Jakarta: KENCANA, 2012)


[1] Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Jakarta:Amzah.2010) hlm.315
[2] Rachmat Syafei, FIQIH Muamalah, (Bandung:CV PUSTAKA SETI, 2001), hlm. 122
[3] Qomarul Huda, Fiqh muamalah, (Yogyakarta: teras, 2011), hlm. 77
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), hlm. 304
[5] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA.2002), hlm.116-117
[6] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., FIQH MUAMALAT, (Jakarta:KENCANA, 2012), hlm. 278-282

1 komentar: